Selasa, 25 November 2008

Rokok, antara Kritis, Obsesi, dan Kejantanan


Cara Cepat Menuai Ide Kritis

Tak perlu bertanya pada ahlinya, hampir semua orang tahu benda kecil, yang oleh Taufiq Ismail dijuluki Tuhan 9 cm. Rokok. Keberadaannya adalah wujud eksistensi nyata sebuah kegandrungan sosial. Sosial, karena tak ada lapisan masyarakat yang tidak menikmati ‘kebul’ asap dari rokok. Jadi, kalaupun rokok diyakini sebagai sumber banyak penyakit akut, maka keyakinan itu akan berhadapan dengan kenikmatan yang juga telah mengakar menjadi landasan masyarakat untuk merokok

Peringatan yang selalu ada di muka kemasan, dengan rentetan penyakit yang mengancam sebagai langkah preventif, agaknya harus ekstra juang meghadapi segala kelebihan rokok. Jika secara sederhana diamati, maka jumlah pecandu rokok akan terus meningkat. Di luar faktor usia, rokok ditawarkan dengan beragam materi yang menarik bahkan jika boleh berlebihan, maka iklan rokok itu menarik, kreatif, dan tak jarang menggelitik.

Satu dari banyaknya merek rokok, menjajakkan produknya dengan variasi iklan yang mengangkat tema kritisme atau satire. Pemilihan kata yang renyah dan kritis, seakan-akan menggagahkan posisi rokok sebagai konsumsi para kaum terdidik dengan begitu banyak melempar gumpalan-gumpalan ide yang memancing efek kritis orang yang melihatnya, atau malah tertawa sambil mengiyakan. Jadi, apakah rokok mempunyai korelasi dengan daya kritis seseorang? Sehingga tidak perlu jauh-jauh menyepi untuk mencari ide-ide cemerlang, dan rokok adalah ‘tempat kembali’nya. Banyak contoh orang yang ketika secara pribadi ditanyakan,

“Kenapa anda selalu merokok ketika mengajar, Pak?”

“Nggak merokok, otak rasanya nggak muter, sulit nyari ide, stress pula…!,” jawab seorang guru eksak sekolah menengah.

Ajaib sekali rokok ini. Dan kalau mau menanyakan pada orang selain guru, seperti beberapa penulis, aktivis, pelukis, dan orang pada profesi lainnya. Sampai-sampai dengan enteng ada yang mengatakan “No smoking is bullying!”

Kekuatan Sebuah Obsesi

Aneh sekali rupanya orang ini. Keluar ruangan tak henti-hentinya meneriakan puisi sang legenda Chairil Anwar dengan ekspresi yang sepertinya hanya ada pada dunia imajinasi. Senyeleneh apapun orang, dalam kehidupan nyata masih punya malu ketika harus menjadi seperti ‘orang gila’ atau dianggap gila. Dalam kobaran semangatnya mendeklamasikan puisi, menaiki taksi pun dia masih beraksi, sampai-sampai Pak supir mengerutkan dahinya sambil melihat cermin yang menggantung diatasnya. Obsesi Penyair!

Itulah gambaran isi sebuah iklan rokok yang mencoba selalu menghadirkan nuansa iklan penuh inspirasi, dengan memunculkan obsesi-obsesi. Tak ada yang salah dengan obsesi. Obsesi memang pantas dipegang sebagai ruh dalam berikhtiar, Namun, lagi-lagi pertanyaan muncul, “ada hubungannya ya?.” Bagaimana rasionalisasinya? Apa ketika sedang merokok, kemudian memunculkan obsesi, cepat atau lambat akan menyulut semangat untuk mengekspresikan imajinasi demi obsesi? Obsesi menjadi penyair hanya satu saja contoh dari obsesi-obsesi lainnya.

“Nggak Ngerokok = Nggak Jantan?”

Ada anggapan yang menyatakan bahwa seorang laki-laki yang tidak merokok adalah bukan lelaki sejati. Nggak jantan, banci, atau sindiran-sindiran pemanas telinga lainnya. Jika begitu, dimana mereka-perokok- meletakkan kejantanan? Di pucuk rokok, asapnya, atau abunya? Lama-kelamaan kejatanan atas nama rokok akan habis seiring dengan ludesnya persediaan uang untuk membelinya. Harusnya, bagi mereka yang penggila rokok demi sebuah kejantanan, harus sudah menganggarkan dana tersendiri untuk membeli rokok selama setahun atau seumur hidup kisalnya. Karena kalau tidak begitu, sewaktu-waktu ketika mereka kehabisan uang, mau disimpan di mana dulu kejantanan mereka? Apa sementara menggantikan tugas kaum hawa dulu, atau bagaimana?

Jargon-jargon yang mengangkat sisi kejantanan atau kesejatian seorang pria seperti semakin memojokkan orang yang memang berusaha menyelamatkan diri dari rokok. Jika prosentasi konsumen rokok di negeri ini mencapai angka 75%, maka ada apa dengan yang 25%? Apa yang sedikit itu mengalami kelainan sehingga tidak mengikuti fitrah pria jantan denga rokok yang mengepul?.

Lalu, setinggi apa ‘rokok’ akan menggantungkan obsesi, se-jeli apa rokok akan menajdi makhluk pengkritis, dan sekuat apa rokok akan men-jantan-kan kaum Adam? Wallahu A’lam.

By

Umar Dong...

Tidak ada komentar: