Selasa, 25 November 2008

Ngobrol pesantren vs transisi

A. Esensi Pendidikan Islam dan Pesantren
Pendidikan Islam adalah suatu pendidikan yang melatih perasaan murid-murid dengan cara begitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali oleh nilai spritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam (Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, 1986:2), atau menurut Abdurrahman an-Nahlawi, ”Pendidikan Islam” mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman pada syariat Allah (Abdurrahman an-Nahlawi, 1995:26) (www.kompas.com., 22 November 2008).
Pesantren merupakan sistem pendidikan yang sudah lama berkembang jauh sebelum negeri ini merdeka, dan sebelum kerajaan Islam berdiri. Pendidikan yang sering disebut tradisional ini, bersama madrasah dan pendidikan swasta nasional lainnya, telah berjasa besar di dalam menumbuhkan masyarakat swadaya dan swasembada (Mulkhan, 2002:180). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pesantren didefinisikan sebgai asrama tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji dan sebagainya (KBBI, 2007). Sedangkan santri adalah orang yang mendalami ilmu agama (KBBI, 2007).
Keunikan yang menjadikan pesantren berbeda dengan lembaga pendidikan agama lain seperti madrasah, adalah system pemondokan atau pengasramaan serta kurikulum agam yang lebih mendalam. Seperti yang telah diungkap di atas, bahwa pesantern menyediakan asrama sebagai tempat untuk menimba ilmu agama. Biasanya, minimal santri belajar di pesantren berkisar tiga sampai enam tahun.Di dalam pesantren, terdapat madrasah yang menjadi semacam tempat formal belajar ilmu agama. Tetapi, sistem pendidikan pesantren lebih bersifat kultural.
Dalam menjalankan proses pendidikannya, pesantren menggunakan istilah-istilah khas seperti bandongan dan sorogan. Bandongan merupakan kegiatan belajar yang melibatkan antara ustadz atau kiyai dan santri. Dalam hal ini, kiyai membaca sebuah kitab sebagai pegangan mengaji atau belajar, dan santri mencatat apa yang sang ustadz atau kiyai sampaikan pada kitab mereka. Biasanya, para santri memakai kitab kuning sebagai kitab utama dalam kegiatan belajar. Nama kitab kuning berasal dari warna kitab itu sendiri yang dahulu dan sampai sekarang kebanyakan kertasnya berwarna kuning. Kitab tersebut memakai bahasa arab dan tanpa menggunakan harakat atau para santri menyebutnya sebagai arab gundul.
Istilah sorogan merujuk kepada metode penyampaian materi yang mana ustadz membaca kitab kuning dan santri mengucap ulang apa yang ustadz ucapkan, dan setelah itu mengulang secara keseluruhan apa yang telah dibacakan ustadz. Kedua metode tersebut hampir diterapkan pada seluruh pesantren yang berada di Indonesia dan terbukti efektif.
Adapun materi pelajaran yang dipelajari mencakup ilmu fikih, ilmu tauhid (ketuhanan), ilmu nahwu dan shorof (gramatikal bahasa arab), bahasa arab, dan akidah akhlak.
Dalam menjalankan proses pembelajaran, pesantren terpisah dari peraturan pemerintah seperti halnya sekolah-sekolah umum. Pesantren diberikan otonomi untuk secara mandiri melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Secara garis besar, seluruh kegiatan pesantren merupakan ’jalan’ untuk mewujudkan tujuan pendidikan agama Islam, yang maksud dan tujuannya sebagai berikut:


a. Memberikan pengajaran Al-Qur’an sebagai langkah pertama pendidikan.
b. Menanamkan pengertian-pengertian berdasarkan pada ajaran-ajaran fundamental Islam yang terwujud dalam Al-Qur’an dan Sunnah dan bahwa ajaran-ajaran ini bersifat abadi.
c. Memberikan pengertian-pengertian dalam bentuk pengetahuan dan skill dengan pemahaman yang jelas bahwa hal-hal tersebut dapat berubah sesuai dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat.
d. Menanamkan pemahaman bahwa ilmu pengetahuan tanpa basis Iman dan Islam adalah pendidikan yang tidak utuh dan pincang.
e. Menciptakan generasi muda yang memiliki kekuatan baik dalam keimanan maupun dalam ilmu pengetahuan (www.kompas.com., 22 November 2008)
B. Tradisi Pesantren Tradisional
Kekhasan pesantren merupakan suatu hal yang unik untuk dipaparkan. Banyak kalangan mengkritisi tradisi pesantren, yang oleh salah satu cendikiawan muslim terlalu berlebihan, bahkan seakan-akan menuhankan sosok kiyai. Memang, kiyai dalam dunia pesantren atau kesantrian, merupakan figur yang harus dihormati dan tidak boleh dibangkang. Apa yang menjadi perintah kiyai merupakan perintah ‘wajib’, yang barangsiapa berani melangkahinya akan mendapatkan ancaman yang paling ditakuti oleh para santri, yaitu tidak manfaatnya ilmu yang telah ditimba dipesantren. Dalam hal ini, posisi kiyai merupakan posisi sentral yang tanpa kecuali harus ditaati. Disinlah, letak otoritas para kiyai yang begitu menjelma. Tidak ada yang berani melawan ‘kekuasaan’ tersebut, kecuali orang-orang yang tertentu, yang berlatar belakang non-pesantren.
Selain kiyai, secara general santri farus menghormati dan menghindari sikap frontal terhadap perintah guru, seperti ustadz. Kondisi demikian, dalam satu sisi dapat menjadikan santri sebagai seseorang yang penurut atau taat dan polos, namn di sisi lain, tak jarang santri merasa terkekang dan berusaha menabrak ‘aturan’ tersebut. Banyak dari kalangan santri yang tidak lagi ‘mengindahkan’ tata karma tersebut, seeprti Ulil Absar Abdala yang dengan berani melawan petuah dan memfatwakan hal-hal yang kontroversial.
Setiap kali bertemu kiyai, wujud penghormatan yang dilakukan oleh para santri adalah menyalami kiyai dengan penuh ta’dzim (hormat). Bentuk penghormatan seperti tersebut merupakan sesuatu yang galib. Namun, di kalangan pesantren atau santri, ada sebuah kepercayaan bahwa dengan bersalaman serta mengecup tangan kiyai, maka akan mendapat barokah (berkah). Barokah ini sangat bermanfaat bagi kemudahan santri dalam menyerap materi pelajaran, terutama pelajaran agama. Bentuk lain penghormatan santri adalah ketika bersilaturahim ke rumahnya kiyai, tepatnya ketika santri sudah berhadapan dengan kyiai, maka yang mereka lakukan adalah duduk timpu seperti abdi dalem keraton dan menyalami tangan kiyai mereka. Masih banyak tradisi pesantren tradisional yang menarik untuk dianalisa.
C. Pesantren dan Perubahan
Suasana pesantren masa kini banyak mengalami perubahan jika dibandiongkan dengan dahulu. Hal tersebut merupakan sebuah keniscayaa. Meski pesantren tradisional dikenal sebgai lembaga pendidikan yang senantiasa memgang tradisi leluhur atau konservatif, namun, sebenarnya secara langsung maupun tidak langsung, perubahan akibat globalisasi tanpa disadari telah merasuk dalam tubuh pesantren, terutama santri.
Santri sudah mulai memperluas pengalaman belajarnya dengan mengikuti sekolah umum, bahkan sampai jenjang kuliah. Pihak pesantren pun mulai membuka lembaga pendidikan yang tidak hanya berkonsentrasi pada bidang agama, namun juga pada bidang-bidang lain.
Perkembangan pesantren memang tidak begitu revolusioner. Zaman yang berjalan, mengantarkan pesantren pada perubahan-perubahan dari beberapa aspek, yaitu kurikulum, fasilitas, dan santri.
Kurikulum pesantren yang dahulu hanya berkutat pada masalah-masalah yang bersifat ukhrowi (yang berhubungan dengan akhirat), tetapi kini memberikan kesempatan bagi para santri untuk mempelajari bidang ilmu lain, seperti Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Bahasa Asing, dll. Maka, bermunculanlah pondok pesantren yang memadukan antara tradisi salafi (ajaran ulama salaf/tradisional) dengan modern, atau saat ini dikenal dengan pondok pesantren modern.
Pada pondok pesantren modern, kurikulum yang dipakai, merupakan kurikulum yang telah disesuaikan dengan ‘tuntutan zaman’. Pelajaran umum, seperti bahasa Inggris, tidak lagi dipisahkan dari kurikulum local pesantren, malah menjadi salah satu pelajaran wajib dan rata-rata, pesantren modern menerapkan bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari selain bahasa Arab.
Fasilitas yang dipakai untuk membantu proses pembelajaran pun mulai disesuaikan. Pihak pesantren memfasilitasi santri dengan adanya laboratorium bahasa, layanan computer sampai internet, swalayan, bahkan sampai membangun stadion untuk kegiatan ekstrakurikuler santri. Seperti yang telah dicontohkan oleh Pesantren Al-Zaytun yang berlokasi di Indramayu. Pondok pesantren terbesar se-Asia Tenggara ini benar-benar memfasilitasi santrinya dengan fasilitas modern. Selain yang telah disebutkan di atas, Al Zaytun juga membangun kolam ikan berukuran besar, taman bunga, taman burung, restoran, dan bandara untuk helikopter.
Sungguh, perubahan yang sangat besar, mengingat, pesantren yang daulu hanya diidentikkan dengan kaum proletar. Tidak semua pesantren mengalami metamorfosa seperti tersebut di atas. Masih banyak pesantren yang memperthankan ke-salaf-annya. Pada pesantren yang demikian, perubahan yang dialami tidak sampai pada taraf bahasa maupun pembangunan fisik besar-besaran. Hanya bagian-bagian tertentu yang bersifat fleksibel saja yang tersentuh arus perubahan.
Di luar itu semua, perubahan yang menuju arah modern, merupakan hasil dari pemikiran pembaharuan yang dicetuskan oleh Kiyai Ahmad Dahlan dengan organisasinya, Muhammadiyah, yang berusaha memperbaharui pemikiran-pemikiraan klasik dan mencoba untuk melakukan modernisasi pendidikann Islam. Para kaum nahdliyin (orang NU), mulai mengadopsi langkah yang ditempuh oleh golongan Muhammadiyah. Maka, muncullah pesantren yang bercorak modern.

D. Pergerakan Santri
Selama beberapa kurun waktu, sejak kemerdekaan, kosa kata santri memberi kesan agraris dan pola hidup pedesaan. Hingga awal 1970-an, banyak pihak yang memberi label santri sebagai kaum sarungan. Namun, kaum santri yang kental kehidupan petani itu tidak dapat diabaikan dan dianggap sepi,bukan karena jumlahnya yang signifikan, melainkan keteguhan pada Islam politik konservatif yang sering disebut oposan atau pembangakang. Kaum santri umumnya menolak segala sistem politik sekuler yang tanpaa simbol Islam yang diidentikan dengan ide nasionalisme.
Di luar sikap ’anti’ pada ssistem sekuler di atas, proyek besar modernisasi hampir di semua sektor kehidupan sebenarnya telah berlangsung dii suniaa santri jauh sebelum kemerdekaan tahun 1945. tanpa disadari, pola kehidupan santri telah berangsur berubah sekuler, walaupun secara terbuka hal itu ditolak. Batas yang sakral dan sekuler dalam praktek hidup kaum santri semakin menipis, daan sulit dikenali kembali. Generasi baaru santri mulai memasuki wilayah sekuler di bidang pemerintahan, dan lembaga ekonomi modern. Gejala ini dikenal sebagai era birokratisasi santri dan penyantrian priyayi yang memuncak dengan lahirnyaa ikatan Ikatan Cendikiawan Musllim Indonesia (ICMI) di akhir tahun 1990 (Mulkhan, 2002:176).
Proses kulturil di atas harus berhenti sebelum matang ketika sejaraah sering berjalan di luar rencang-bangun yang disusun cermat akibat ’kecelakaan’ yang membawa bangsa ini ke dalam situasi transisional. Tahun 1997 Indonesia dilanda multikrisis, dimuali krisis moneter yang antara lain memicu tumbangnya rezim orde baru pada 21 Mei 1998. ’Kecelakaan’ tersebut membuat ’sekularisasi’ budaya santri menjadi mentah. Namun demikian, proses kultural kehidupan kaum santri yang berlangsung sekitar satu abad itu tidak sama sekali tanpa arti.
Sejak tahun 1999, generasi muda santri mulai menduduki jabataan penting di jajaran biirokrasi setelah majunya KH. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden Republik Indonesia. Keadaan demikian, seperti membuka lebar kesempataan para santri, yang semula ’anti’ terhadap dunia perpolitikan, untuk berperan dalam perpolitikan bangsa. Tidak hanya sebagai anggota birokrasi, santri pun mulai merambah dunia lain yang tak kalah penting, seperti terjun ke dunia kemiliteran.
Santri yang dahulu ’jauh’ dari hal-hal yang berbau modern, setelah mengalami masa transisi mulai mengubah cara hidup mereka, baik disadari atau tidak. Celana jeans, dasi, jas, dan aksesori serba perlente, sudah tidak asing lagi dikalangan para santri. Menonton televisi sampai konser-konser musik, sudah menelisik dunia par santri.
Lalu, apakah kondisi demikian dikatakan sebagai kemajuan atau sebaliknya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, analisa mendaalam terhaadap efek dari modernisasi di kalangan santri harus lebih dalam lagi digali. Besar kemungkinan, apa yang telah dipaparkan di atas hanya sebuah wacana karena tanpa melalui penelitian yang intens.
Bagaimanapun, sebagai salah sati bagian dari kaum terdidik, santri memang harus mulai bergerak, dan ambil bagian dalam segala bentuk aktivitas yang menyangkut segaala hal yang kursial untuk dicarikan solusinya. Permasalahan global, bukan hanya mmilik lembaga yang non-pessantren sajaa, tapi di dalamnya, pesantren berikut elemen-elemen yang menyertainya, terlibat dalam pengentasan setiap masalah yang dihadapi bangsa Indonesia umumnya.

Tidak ada komentar: