Selasa, 25 November 2008

Ngobrol pesantren vs transisi

A. Esensi Pendidikan Islam dan Pesantren
Pendidikan Islam adalah suatu pendidikan yang melatih perasaan murid-murid dengan cara begitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali oleh nilai spritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam (Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, 1986:2), atau menurut Abdurrahman an-Nahlawi, ”Pendidikan Islam” mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman pada syariat Allah (Abdurrahman an-Nahlawi, 1995:26) (www.kompas.com., 22 November 2008).
Pesantren merupakan sistem pendidikan yang sudah lama berkembang jauh sebelum negeri ini merdeka, dan sebelum kerajaan Islam berdiri. Pendidikan yang sering disebut tradisional ini, bersama madrasah dan pendidikan swasta nasional lainnya, telah berjasa besar di dalam menumbuhkan masyarakat swadaya dan swasembada (Mulkhan, 2002:180). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pesantren didefinisikan sebgai asrama tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji dan sebagainya (KBBI, 2007). Sedangkan santri adalah orang yang mendalami ilmu agama (KBBI, 2007).
Keunikan yang menjadikan pesantren berbeda dengan lembaga pendidikan agama lain seperti madrasah, adalah system pemondokan atau pengasramaan serta kurikulum agam yang lebih mendalam. Seperti yang telah diungkap di atas, bahwa pesantern menyediakan asrama sebagai tempat untuk menimba ilmu agama. Biasanya, minimal santri belajar di pesantren berkisar tiga sampai enam tahun.Di dalam pesantren, terdapat madrasah yang menjadi semacam tempat formal belajar ilmu agama. Tetapi, sistem pendidikan pesantren lebih bersifat kultural.
Dalam menjalankan proses pendidikannya, pesantren menggunakan istilah-istilah khas seperti bandongan dan sorogan. Bandongan merupakan kegiatan belajar yang melibatkan antara ustadz atau kiyai dan santri. Dalam hal ini, kiyai membaca sebuah kitab sebagai pegangan mengaji atau belajar, dan santri mencatat apa yang sang ustadz atau kiyai sampaikan pada kitab mereka. Biasanya, para santri memakai kitab kuning sebagai kitab utama dalam kegiatan belajar. Nama kitab kuning berasal dari warna kitab itu sendiri yang dahulu dan sampai sekarang kebanyakan kertasnya berwarna kuning. Kitab tersebut memakai bahasa arab dan tanpa menggunakan harakat atau para santri menyebutnya sebagai arab gundul.
Istilah sorogan merujuk kepada metode penyampaian materi yang mana ustadz membaca kitab kuning dan santri mengucap ulang apa yang ustadz ucapkan, dan setelah itu mengulang secara keseluruhan apa yang telah dibacakan ustadz. Kedua metode tersebut hampir diterapkan pada seluruh pesantren yang berada di Indonesia dan terbukti efektif.
Adapun materi pelajaran yang dipelajari mencakup ilmu fikih, ilmu tauhid (ketuhanan), ilmu nahwu dan shorof (gramatikal bahasa arab), bahasa arab, dan akidah akhlak.
Dalam menjalankan proses pembelajaran, pesantren terpisah dari peraturan pemerintah seperti halnya sekolah-sekolah umum. Pesantren diberikan otonomi untuk secara mandiri melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Secara garis besar, seluruh kegiatan pesantren merupakan ’jalan’ untuk mewujudkan tujuan pendidikan agama Islam, yang maksud dan tujuannya sebagai berikut:


a. Memberikan pengajaran Al-Qur’an sebagai langkah pertama pendidikan.
b. Menanamkan pengertian-pengertian berdasarkan pada ajaran-ajaran fundamental Islam yang terwujud dalam Al-Qur’an dan Sunnah dan bahwa ajaran-ajaran ini bersifat abadi.
c. Memberikan pengertian-pengertian dalam bentuk pengetahuan dan skill dengan pemahaman yang jelas bahwa hal-hal tersebut dapat berubah sesuai dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat.
d. Menanamkan pemahaman bahwa ilmu pengetahuan tanpa basis Iman dan Islam adalah pendidikan yang tidak utuh dan pincang.
e. Menciptakan generasi muda yang memiliki kekuatan baik dalam keimanan maupun dalam ilmu pengetahuan (www.kompas.com., 22 November 2008)
B. Tradisi Pesantren Tradisional
Kekhasan pesantren merupakan suatu hal yang unik untuk dipaparkan. Banyak kalangan mengkritisi tradisi pesantren, yang oleh salah satu cendikiawan muslim terlalu berlebihan, bahkan seakan-akan menuhankan sosok kiyai. Memang, kiyai dalam dunia pesantren atau kesantrian, merupakan figur yang harus dihormati dan tidak boleh dibangkang. Apa yang menjadi perintah kiyai merupakan perintah ‘wajib’, yang barangsiapa berani melangkahinya akan mendapatkan ancaman yang paling ditakuti oleh para santri, yaitu tidak manfaatnya ilmu yang telah ditimba dipesantren. Dalam hal ini, posisi kiyai merupakan posisi sentral yang tanpa kecuali harus ditaati. Disinlah, letak otoritas para kiyai yang begitu menjelma. Tidak ada yang berani melawan ‘kekuasaan’ tersebut, kecuali orang-orang yang tertentu, yang berlatar belakang non-pesantren.
Selain kiyai, secara general santri farus menghormati dan menghindari sikap frontal terhadap perintah guru, seperti ustadz. Kondisi demikian, dalam satu sisi dapat menjadikan santri sebagai seseorang yang penurut atau taat dan polos, namn di sisi lain, tak jarang santri merasa terkekang dan berusaha menabrak ‘aturan’ tersebut. Banyak dari kalangan santri yang tidak lagi ‘mengindahkan’ tata karma tersebut, seeprti Ulil Absar Abdala yang dengan berani melawan petuah dan memfatwakan hal-hal yang kontroversial.
Setiap kali bertemu kiyai, wujud penghormatan yang dilakukan oleh para santri adalah menyalami kiyai dengan penuh ta’dzim (hormat). Bentuk penghormatan seperti tersebut merupakan sesuatu yang galib. Namun, di kalangan pesantren atau santri, ada sebuah kepercayaan bahwa dengan bersalaman serta mengecup tangan kiyai, maka akan mendapat barokah (berkah). Barokah ini sangat bermanfaat bagi kemudahan santri dalam menyerap materi pelajaran, terutama pelajaran agama. Bentuk lain penghormatan santri adalah ketika bersilaturahim ke rumahnya kiyai, tepatnya ketika santri sudah berhadapan dengan kyiai, maka yang mereka lakukan adalah duduk timpu seperti abdi dalem keraton dan menyalami tangan kiyai mereka. Masih banyak tradisi pesantren tradisional yang menarik untuk dianalisa.
C. Pesantren dan Perubahan
Suasana pesantren masa kini banyak mengalami perubahan jika dibandiongkan dengan dahulu. Hal tersebut merupakan sebuah keniscayaa. Meski pesantren tradisional dikenal sebgai lembaga pendidikan yang senantiasa memgang tradisi leluhur atau konservatif, namun, sebenarnya secara langsung maupun tidak langsung, perubahan akibat globalisasi tanpa disadari telah merasuk dalam tubuh pesantren, terutama santri.
Santri sudah mulai memperluas pengalaman belajarnya dengan mengikuti sekolah umum, bahkan sampai jenjang kuliah. Pihak pesantren pun mulai membuka lembaga pendidikan yang tidak hanya berkonsentrasi pada bidang agama, namun juga pada bidang-bidang lain.
Perkembangan pesantren memang tidak begitu revolusioner. Zaman yang berjalan, mengantarkan pesantren pada perubahan-perubahan dari beberapa aspek, yaitu kurikulum, fasilitas, dan santri.
Kurikulum pesantren yang dahulu hanya berkutat pada masalah-masalah yang bersifat ukhrowi (yang berhubungan dengan akhirat), tetapi kini memberikan kesempatan bagi para santri untuk mempelajari bidang ilmu lain, seperti Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Bahasa Asing, dll. Maka, bermunculanlah pondok pesantren yang memadukan antara tradisi salafi (ajaran ulama salaf/tradisional) dengan modern, atau saat ini dikenal dengan pondok pesantren modern.
Pada pondok pesantren modern, kurikulum yang dipakai, merupakan kurikulum yang telah disesuaikan dengan ‘tuntutan zaman’. Pelajaran umum, seperti bahasa Inggris, tidak lagi dipisahkan dari kurikulum local pesantren, malah menjadi salah satu pelajaran wajib dan rata-rata, pesantren modern menerapkan bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari selain bahasa Arab.
Fasilitas yang dipakai untuk membantu proses pembelajaran pun mulai disesuaikan. Pihak pesantren memfasilitasi santri dengan adanya laboratorium bahasa, layanan computer sampai internet, swalayan, bahkan sampai membangun stadion untuk kegiatan ekstrakurikuler santri. Seperti yang telah dicontohkan oleh Pesantren Al-Zaytun yang berlokasi di Indramayu. Pondok pesantren terbesar se-Asia Tenggara ini benar-benar memfasilitasi santrinya dengan fasilitas modern. Selain yang telah disebutkan di atas, Al Zaytun juga membangun kolam ikan berukuran besar, taman bunga, taman burung, restoran, dan bandara untuk helikopter.
Sungguh, perubahan yang sangat besar, mengingat, pesantren yang daulu hanya diidentikkan dengan kaum proletar. Tidak semua pesantren mengalami metamorfosa seperti tersebut di atas. Masih banyak pesantren yang memperthankan ke-salaf-annya. Pada pesantren yang demikian, perubahan yang dialami tidak sampai pada taraf bahasa maupun pembangunan fisik besar-besaran. Hanya bagian-bagian tertentu yang bersifat fleksibel saja yang tersentuh arus perubahan.
Di luar itu semua, perubahan yang menuju arah modern, merupakan hasil dari pemikiran pembaharuan yang dicetuskan oleh Kiyai Ahmad Dahlan dengan organisasinya, Muhammadiyah, yang berusaha memperbaharui pemikiran-pemikiraan klasik dan mencoba untuk melakukan modernisasi pendidikann Islam. Para kaum nahdliyin (orang NU), mulai mengadopsi langkah yang ditempuh oleh golongan Muhammadiyah. Maka, muncullah pesantren yang bercorak modern.

D. Pergerakan Santri
Selama beberapa kurun waktu, sejak kemerdekaan, kosa kata santri memberi kesan agraris dan pola hidup pedesaan. Hingga awal 1970-an, banyak pihak yang memberi label santri sebagai kaum sarungan. Namun, kaum santri yang kental kehidupan petani itu tidak dapat diabaikan dan dianggap sepi,bukan karena jumlahnya yang signifikan, melainkan keteguhan pada Islam politik konservatif yang sering disebut oposan atau pembangakang. Kaum santri umumnya menolak segala sistem politik sekuler yang tanpaa simbol Islam yang diidentikan dengan ide nasionalisme.
Di luar sikap ’anti’ pada ssistem sekuler di atas, proyek besar modernisasi hampir di semua sektor kehidupan sebenarnya telah berlangsung dii suniaa santri jauh sebelum kemerdekaan tahun 1945. tanpa disadari, pola kehidupan santri telah berangsur berubah sekuler, walaupun secara terbuka hal itu ditolak. Batas yang sakral dan sekuler dalam praktek hidup kaum santri semakin menipis, daan sulit dikenali kembali. Generasi baaru santri mulai memasuki wilayah sekuler di bidang pemerintahan, dan lembaga ekonomi modern. Gejala ini dikenal sebagai era birokratisasi santri dan penyantrian priyayi yang memuncak dengan lahirnyaa ikatan Ikatan Cendikiawan Musllim Indonesia (ICMI) di akhir tahun 1990 (Mulkhan, 2002:176).
Proses kulturil di atas harus berhenti sebelum matang ketika sejaraah sering berjalan di luar rencang-bangun yang disusun cermat akibat ’kecelakaan’ yang membawa bangsa ini ke dalam situasi transisional. Tahun 1997 Indonesia dilanda multikrisis, dimuali krisis moneter yang antara lain memicu tumbangnya rezim orde baru pada 21 Mei 1998. ’Kecelakaan’ tersebut membuat ’sekularisasi’ budaya santri menjadi mentah. Namun demikian, proses kultural kehidupan kaum santri yang berlangsung sekitar satu abad itu tidak sama sekali tanpa arti.
Sejak tahun 1999, generasi muda santri mulai menduduki jabataan penting di jajaran biirokrasi setelah majunya KH. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden Republik Indonesia. Keadaan demikian, seperti membuka lebar kesempataan para santri, yang semula ’anti’ terhadap dunia perpolitikan, untuk berperan dalam perpolitikan bangsa. Tidak hanya sebagai anggota birokrasi, santri pun mulai merambah dunia lain yang tak kalah penting, seperti terjun ke dunia kemiliteran.
Santri yang dahulu ’jauh’ dari hal-hal yang berbau modern, setelah mengalami masa transisi mulai mengubah cara hidup mereka, baik disadari atau tidak. Celana jeans, dasi, jas, dan aksesori serba perlente, sudah tidak asing lagi dikalangan para santri. Menonton televisi sampai konser-konser musik, sudah menelisik dunia par santri.
Lalu, apakah kondisi demikian dikatakan sebagai kemajuan atau sebaliknya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, analisa mendaalam terhaadap efek dari modernisasi di kalangan santri harus lebih dalam lagi digali. Besar kemungkinan, apa yang telah dipaparkan di atas hanya sebuah wacana karena tanpa melalui penelitian yang intens.
Bagaimanapun, sebagai salah sati bagian dari kaum terdidik, santri memang harus mulai bergerak, dan ambil bagian dalam segala bentuk aktivitas yang menyangkut segaala hal yang kursial untuk dicarikan solusinya. Permasalahan global, bukan hanya mmilik lembaga yang non-pessantren sajaa, tapi di dalamnya, pesantren berikut elemen-elemen yang menyertainya, terlibat dalam pengentasan setiap masalah yang dihadapi bangsa Indonesia umumnya.

Rokok, antara Kritis, Obsesi, dan Kejantanan


Cara Cepat Menuai Ide Kritis

Tak perlu bertanya pada ahlinya, hampir semua orang tahu benda kecil, yang oleh Taufiq Ismail dijuluki Tuhan 9 cm. Rokok. Keberadaannya adalah wujud eksistensi nyata sebuah kegandrungan sosial. Sosial, karena tak ada lapisan masyarakat yang tidak menikmati ‘kebul’ asap dari rokok. Jadi, kalaupun rokok diyakini sebagai sumber banyak penyakit akut, maka keyakinan itu akan berhadapan dengan kenikmatan yang juga telah mengakar menjadi landasan masyarakat untuk merokok

Peringatan yang selalu ada di muka kemasan, dengan rentetan penyakit yang mengancam sebagai langkah preventif, agaknya harus ekstra juang meghadapi segala kelebihan rokok. Jika secara sederhana diamati, maka jumlah pecandu rokok akan terus meningkat. Di luar faktor usia, rokok ditawarkan dengan beragam materi yang menarik bahkan jika boleh berlebihan, maka iklan rokok itu menarik, kreatif, dan tak jarang menggelitik.

Satu dari banyaknya merek rokok, menjajakkan produknya dengan variasi iklan yang mengangkat tema kritisme atau satire. Pemilihan kata yang renyah dan kritis, seakan-akan menggagahkan posisi rokok sebagai konsumsi para kaum terdidik dengan begitu banyak melempar gumpalan-gumpalan ide yang memancing efek kritis orang yang melihatnya, atau malah tertawa sambil mengiyakan. Jadi, apakah rokok mempunyai korelasi dengan daya kritis seseorang? Sehingga tidak perlu jauh-jauh menyepi untuk mencari ide-ide cemerlang, dan rokok adalah ‘tempat kembali’nya. Banyak contoh orang yang ketika secara pribadi ditanyakan,

“Kenapa anda selalu merokok ketika mengajar, Pak?”

“Nggak merokok, otak rasanya nggak muter, sulit nyari ide, stress pula…!,” jawab seorang guru eksak sekolah menengah.

Ajaib sekali rokok ini. Dan kalau mau menanyakan pada orang selain guru, seperti beberapa penulis, aktivis, pelukis, dan orang pada profesi lainnya. Sampai-sampai dengan enteng ada yang mengatakan “No smoking is bullying!”

Kekuatan Sebuah Obsesi

Aneh sekali rupanya orang ini. Keluar ruangan tak henti-hentinya meneriakan puisi sang legenda Chairil Anwar dengan ekspresi yang sepertinya hanya ada pada dunia imajinasi. Senyeleneh apapun orang, dalam kehidupan nyata masih punya malu ketika harus menjadi seperti ‘orang gila’ atau dianggap gila. Dalam kobaran semangatnya mendeklamasikan puisi, menaiki taksi pun dia masih beraksi, sampai-sampai Pak supir mengerutkan dahinya sambil melihat cermin yang menggantung diatasnya. Obsesi Penyair!

Itulah gambaran isi sebuah iklan rokok yang mencoba selalu menghadirkan nuansa iklan penuh inspirasi, dengan memunculkan obsesi-obsesi. Tak ada yang salah dengan obsesi. Obsesi memang pantas dipegang sebagai ruh dalam berikhtiar, Namun, lagi-lagi pertanyaan muncul, “ada hubungannya ya?.” Bagaimana rasionalisasinya? Apa ketika sedang merokok, kemudian memunculkan obsesi, cepat atau lambat akan menyulut semangat untuk mengekspresikan imajinasi demi obsesi? Obsesi menjadi penyair hanya satu saja contoh dari obsesi-obsesi lainnya.

“Nggak Ngerokok = Nggak Jantan?”

Ada anggapan yang menyatakan bahwa seorang laki-laki yang tidak merokok adalah bukan lelaki sejati. Nggak jantan, banci, atau sindiran-sindiran pemanas telinga lainnya. Jika begitu, dimana mereka-perokok- meletakkan kejantanan? Di pucuk rokok, asapnya, atau abunya? Lama-kelamaan kejatanan atas nama rokok akan habis seiring dengan ludesnya persediaan uang untuk membelinya. Harusnya, bagi mereka yang penggila rokok demi sebuah kejantanan, harus sudah menganggarkan dana tersendiri untuk membeli rokok selama setahun atau seumur hidup kisalnya. Karena kalau tidak begitu, sewaktu-waktu ketika mereka kehabisan uang, mau disimpan di mana dulu kejantanan mereka? Apa sementara menggantikan tugas kaum hawa dulu, atau bagaimana?

Jargon-jargon yang mengangkat sisi kejantanan atau kesejatian seorang pria seperti semakin memojokkan orang yang memang berusaha menyelamatkan diri dari rokok. Jika prosentasi konsumen rokok di negeri ini mencapai angka 75%, maka ada apa dengan yang 25%? Apa yang sedikit itu mengalami kelainan sehingga tidak mengikuti fitrah pria jantan denga rokok yang mengepul?.

Lalu, setinggi apa ‘rokok’ akan menggantungkan obsesi, se-jeli apa rokok akan menajdi makhluk pengkritis, dan sekuat apa rokok akan men-jantan-kan kaum Adam? Wallahu A’lam.

By

Umar Dong...

Rabu, 15 Oktober 2008

Semesta, manusia, dan Hidup

Petang itu, bersama teman-teman saya bertandang ke Rumah seorang profesor bijak, yang merupakan orang tua kami di Jogja, untuk bersilaturahim dan mentradisikan semangat Idul Fitri dan saling berucap maaf.
Setelah dipersilahkan untuk duduk, obrolan kecil pun mulai berjalan. Hal-hal sepele pun terpaksa dijadikan bahan pembicaraan. Namun, pembicaraan mulai menarik, ketika salah seorang teman saya dengan sedikit begurau, dia memohon didoakan agar segera diberi jodoh.
Dengan senyum kecil, bapak bijak langsung merespon dengan kalimat,"nggak usah khawatir, jodoh sudah pasti." Setela itu beliau mulai menuturkan hal-hal lain yang berisi nasihat-nasihat bijak pada kami. Mulai dari merefleksikan hidup, bahwa dalam dunia ini, begitupun hidup kita, tak pernah ada sesuatu pun yang muncul atau terjadi secara tiba-tiba, Semua telah terencana dan diatur, siapa lagi kalau bukan oleh Dzat Ynag Maha Pengatur. Kelahiran kita yang terjadi pada suatu hari pada saat yang lalu, serta siapa yang akan melahirkan kita, bagaimana kita dilahirkan, siapa yang membantu proses melahirkan, bahkan di mana kita dilahirkan, semua telah ditentukan oleh Allah. Tak akan ada yang bergeser dari ektentuannya tersebut. Usia yang saat ini bergelut dengan masa yang manusia lewati, telah dipastikan akan sampai kapan berakhir. Banyaknya riszki serta profesi apa yang akan kita sandang untuk mempertahankan hidup, semuanya telah Allah plotkan dengan apik. Begitu pula masalah jodoh, yang kebanyakan kita masih agak ragu untuk tidak mencobanya dengan usaha-usaha yang sudah dianggap biasa, seperti pacaran.
Setelah panjang lebar membicarakan hal itu, beliau pun beranjak pada topik pembicaraan yang tak kalah menarik, yaitu tentang keterkaitan antara alam sekita kita dengan hidup serta regulasi yang mengaturnya. Matahari, bulan, dan bumi yang menjadi penyerta terbesar kehidupan manusia, rupanya mempunyai peran yang tak hanya sebagai organ tata surya. Malah lebih dari itu. Matahari yang merupakan sumber cahaya dengan panasnya yang membara, merupakan dzat yang dapat memberikan pengaruh emosi pada manusia. jadi, semakin lama kita mendapatkan timpaan cahaya matahari, maka akan semakin banyak butir-butir energi yang dapat meningkatkan emosi dalam diri kita. Di samping itu, matahari pun merupakan benda langit yang menjadi penentu waktu. Posisinya menjadikan waktu dalam sehari terbagi-bagi. Maka, dengannya Allah mewajibkan manusia untuk mengerjakan sholat sebanyak lima kali untuk mengontrol energi matahari tersebut.
Bulan yang selain menjadi penerang ketika malam, adalah bagian semesta yang dapat menentukan masa dalam setahun, yang terbagi dalam bulan-bulan. Karena hal itulah, Allah pun mensyari'atkan pada manusia untuk mengiringinya dengan melaksanakan puasa dalam salah satu bulan, yaitu pada bulan Ramadlan, pergi haji ketika bulan Dzulhijah.
Bumi yang dengan luas Allah hamparkan, marupakan ladang terbaik yang Allah ciptakan untuk manusia dapat mengais berkah darinya berupa penghasilan. Untuk mengingatkan akan siapa yang menganugerahi semua itu, Allah memberi peringatan kepada umat manuisa untuk berzakat, membersihkan harta serta diri kita.
Di sekitar kita pun ada api dan air. Sifat api selain panas, adalah akan bergejolak ke atas. Api pun identik dengan amarah, ambisi, serta emosi. Tak heran jika seseorang yang sudah diliputi oleh ambisi serta emosi yang tinggi, maka dia seakan bergejolak untuk selalu ingin di atas dan tidak ingin kalah. Sedangkan air yang dengan kesejukannya, bersifat mengalir ke area yang lebih landai dan menyebar ketika berada pada daerah yang luas, serta mengaliri langsung media yang ditempatinya, sebagai contoh air pegunungan akan mengalir pada daerah yang lebih rendah serta air sungai akan melaju ke laut yang luas, tetapi selalau mengalir langsung di tanah. Orang yang berusaha mengendalikan dirinya seperti halnya air yang mengalir dan menyejukkan, akan selalu mempertimbangkan segala sesuatu agar selalu stabil, atau jika dikaitkan denmgan air, selalu menyejukkan, dan tidak berambisi untuk menjadi yang di atas.
Masya Allah, dengan sangat antusias saya menyimak kata demi kata yang mangalir dari bapak yang walaupun telah meraih gelar prestisius serta pernah study di Perancis sana tetapi mengaku tidak merasa siapa-siapa setelah mendalami agama.
Saya berfikir, mengapa kita tidak peka terhadap lingkungan sekitar kita. Tidak hanya bertanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan alam, tapi kita pun seharusnya menggali filosofi luar biasa darinya.
Umar Vaza